Adalah Sorgahari raja ke 3 dari Kerajaan Tanah Jawa mempunyai 2 orang putra.
Putra yang pertama bernama Oesoel Madjadi dan yang kedua bernama Djintanari.
Setelah Oesoel Madjadi dewasa maka oleh orangtuanya dikawinkan dengan seorang wanita dari Simarimboen, beliau diberi gelar Toean Maroeboen dan diberi wilayah kekuasaan (Partuanon) dengan nama Maroeboen. Toen Maroeboen memerintah serta mengatur hajat hidup rakyatnya sendiri tetapi tetap tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Tanah Jawa.
Pusat Pemerintahannya terletak di Simpang Tangsi desa Balimbingan ( RS PTPN IV Balimbingan).
Wilayah Maroeboen meliputi:
sebelah utara sampai dengan Tanggabatu,
sebelah selatan sampai dengan Taratak Bosar Maligas (Tinjoan),
sebelah Barat sampai dengan Simpang Hataran Jawa (Sungai Bah Hilang),
sebelah timur sampai dengan Pematang Tanah Jawa (istana Raja Tanah Jawa). Desa yang masuk wilayah Maroeboen meliputi desa, Timbaan, desa Pendawa Lima, desa Tangga Batu, desa Marubun Jaya, desa Nagori Bayu Maroeboen, desa Marimbun, desa Bosar Majawa, desa Taratak Bosar Maligas dan desa Hataran Jawa.
Seperti halnya dengan Oesoel Madjadi begitu juga dengan Djintanari, apabila telah berumah tangga akan diberi gelar dan diberi wilayah Partuanon.
Selain dari pada itu Raja Sorgahari juga membuat keputusan yang antara lain raja berikutnya (pengganti raja) adalah kedua putranya secara bergantian dengan persetujuan dari Toean Maroeboen (karena toean Maroeboen adalah putra tertua dan juga oleh raja diangkat sebagai Pemangku Adat Kerajaan), begitu seterusnya sampai generasi berikutnya dan ini harus dipatuhi semua keturunan dan Pembesar-pembesar serta Pemanggku Adat Kerajaan yang ada di Kerajaan Tanah Jawa.,
Setelah Raja Sorgahari meninggal maka diangkatlah Djintanari sebagai Raja ke 4 atas musyawarah semua Pembesar Kerajaan dan atas restu dari Toean Maroeboen sebagai Pemangku Adat Kerajaan.
Kemudian setelah Djintanari meninggal maka diangkatlah Toen Maroeboen yaitu Oesoel Madjadi sebagai Raja ke 5, selain raja beliau juga Pemangku Adat Kerajaan.
Kemudian Oesoel Madjadi meninggal maka putranya nomor 2 yang bernama Djoengmani diangkat menjadi Toean Maroeboen sekaligus sebagai pemangku Adat Kerajaan Tanah jawa.
Djoengmani tinggal di istana Partoeanon Maroeboen di Simpang Tangsi.
Pada suatu masa Istana Toean Maroeboen dibakar oleh Belanda karena Raja Tanah Jawa telah mengontrakkan (Konsesi) wilayah tersebut kepada Perusahaan Belanda bernama Handel Vreniging Amsterdam (HVA).
Karena wilayah Partuanon Maroeboen telah dikuasai oleh pihak perusahan Belanda dan dijadikan areal perkebunan Toean Maroeboen pindah kerumah putranya Toean Hoeta bayoe Maroeboen yang bernama Sanggah Goraha. Di Hoeta Bayoe Maroeboen inilah beliau meninggal dunia dan dikebumikan disana, pada masa itu beliau masih menganut kepercayaan setempat yaitu Parmalim.
Pada tahun 1905 sampai dengan tahun 1912 Toean Hoeta bayoe Maroeboen (Toean Sanggah Goraha) dianggkat menjadi Pemangku Kerajaan Tanah Jawa.
Sama halnya seperti ayahnya, Sanggah Goraha tidak pernah mau tunduk didalam urusan pemerintahan belanda, karena prinsip Sanggah Goraha, dia dengan raja belanda mempunyai hubungan pertemanan sehingga kedudukan mereka adalah sederajat.
Prisipnya ini yang menjadi pemicu kericuhan dengan pegawai pemerintahan belanda dan Sanggah Goraha tidak pernah takut untuk menghadapinya dan setiap saat melakukan perlawanan.
Sejalan dengan perlawanan Sanggah Goraha dengan pegawai pemerintah belanda bersamaan dengan itu terjadi pemberontakan di Pondok Buluh di Tiga Dolok oleh rakyat dari Kerajaan Tanah Jawa karena kekejaman Marsose belanda.
Oleh Raja Tanah Jawa pada masa itu adalah Toean Djintar melaporkan kepada pemerintah belanda bahwa yang menggerakkan pemberontakan di Pondok Buluh Tiga Dolok adalah Toean Sanggah Goraha dari Hoeta Bayoe Maroeboen.
Dengan perlawanan yang terus menerus tersebut Sanggah Goraha dikejar kejar oleh tentara belanda yang akhirnya Sanggah Goraha tertangkap oleh belanda dan dibuang ke Batubara.
Di Batu Bara beliau ditahan dirumah Datoek Batubara yang pada masa itu telah takluk dengan belanda.
Di Batu Bara inilah Sanggah Goraha memeluk agama Islam dimana penduduk Batu Bara pada saat itu pada umumnya pemeluk agama Isam.
Pada masa Toean Djintar hendak dikukuhkan menjadi Raja oleh belanda seluruh Pembesar-pembesar kerajaan Tanah Jawa tidak menyetujui pengangkatannya karena Toean Sanggah Goraha (Partoeanon Hoeta Bayoe Maroeboen) tidak berada ditempat untuk memberikan persetujuan atau restu sebagai raja, ini merupakan ketentuan yang harus dipatuhi di Kerajaan Tanah Jawa.
Dengan ketentuan yang telah turun temurun ini maka pemerintah belanda membebaskan dan memerintahkan agar Sanggah Goraha segera di jemput dari Batu Bara.
Maka berangkatlah Poeang Bolon Tanah Jawa dari Bandar (Permaisuri raja Horpanaloean) ibu dari Toean Djintar menjemput Sanggah Goraha ke Batu Bara.
Dengan restu Toean Sanggah Goraha maka oleh belanda diangkatlah Toean Djintar menjadi raja.
Toean Sanggah Goraha kembali ke Hoeta Bayoe Maroeboen untuk melaksanakan tugasnya sebagai Pemangku Adat Kerajaan Tanah Jawa.
Pada tahun 1930 Sanggah Goraha meninggal dunia dan Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen di nobatkan kepada putra pertamanya yaitu Toean Radja Ihoet.
Pada masa Toean Radja Ihoet menjadi Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen, oleh Raja Tanah jawa pada saat itu Toean Sangmadjadi memecah mecah kekuasaan Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen menjadi 4 wilayah;
1. Hoeta Bayoe Maroeboen di pimpin oleh Radja Ihoet,
2. Dolok Maroeboen dipimpin adik ke 2 nya Bindoe Radja,
3. Maroeboen dipimpin oleh Djintaradja adik bungsunya dan
4. Tangga Batu menjadi wilayah kepenghuluan yang pimpinannya diangkat dari rakyat biasa atas usul Toean Radja Ihoet.
Hal ini merupakan perintah Raja Tanah Jawa atas desakan pemerintah belanda untuk memperlemah kekuatan Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen yang merupakan generasi dari Partoeanon Maroeboen yang selalu memberontak kepada pihak belanda.
Putra yang pertama bernama Oesoel Madjadi dan yang kedua bernama Djintanari.
Setelah Oesoel Madjadi dewasa maka oleh orangtuanya dikawinkan dengan seorang wanita dari Simarimboen, beliau diberi gelar Toean Maroeboen dan diberi wilayah kekuasaan (Partuanon) dengan nama Maroeboen. Toen Maroeboen memerintah serta mengatur hajat hidup rakyatnya sendiri tetapi tetap tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Tanah Jawa.
Pusat Pemerintahannya terletak di Simpang Tangsi desa Balimbingan ( RS PTPN IV Balimbingan).
Wilayah Maroeboen meliputi:
sebelah utara sampai dengan Tanggabatu,
sebelah selatan sampai dengan Taratak Bosar Maligas (Tinjoan),
sebelah Barat sampai dengan Simpang Hataran Jawa (Sungai Bah Hilang),
sebelah timur sampai dengan Pematang Tanah Jawa (istana Raja Tanah Jawa). Desa yang masuk wilayah Maroeboen meliputi desa, Timbaan, desa Pendawa Lima, desa Tangga Batu, desa Marubun Jaya, desa Nagori Bayu Maroeboen, desa Marimbun, desa Bosar Majawa, desa Taratak Bosar Maligas dan desa Hataran Jawa.
Seperti halnya dengan Oesoel Madjadi begitu juga dengan Djintanari, apabila telah berumah tangga akan diberi gelar dan diberi wilayah Partuanon.
Selain dari pada itu Raja Sorgahari juga membuat keputusan yang antara lain raja berikutnya (pengganti raja) adalah kedua putranya secara bergantian dengan persetujuan dari Toean Maroeboen (karena toean Maroeboen adalah putra tertua dan juga oleh raja diangkat sebagai Pemangku Adat Kerajaan), begitu seterusnya sampai generasi berikutnya dan ini harus dipatuhi semua keturunan dan Pembesar-pembesar serta Pemanggku Adat Kerajaan yang ada di Kerajaan Tanah Jawa.,
Setelah Raja Sorgahari meninggal maka diangkatlah Djintanari sebagai Raja ke 4 atas musyawarah semua Pembesar Kerajaan dan atas restu dari Toean Maroeboen sebagai Pemangku Adat Kerajaan.
Kemudian setelah Djintanari meninggal maka diangkatlah Toen Maroeboen yaitu Oesoel Madjadi sebagai Raja ke 5, selain raja beliau juga Pemangku Adat Kerajaan.
Kemudian Oesoel Madjadi meninggal maka putranya nomor 2 yang bernama Djoengmani diangkat menjadi Toean Maroeboen sekaligus sebagai pemangku Adat Kerajaan Tanah jawa.
Djoengmani tinggal di istana Partoeanon Maroeboen di Simpang Tangsi.
Pada suatu masa Istana Toean Maroeboen dibakar oleh Belanda karena Raja Tanah Jawa telah mengontrakkan (Konsesi) wilayah tersebut kepada Perusahaan Belanda bernama Handel Vreniging Amsterdam (HVA).
Karena wilayah Partuanon Maroeboen telah dikuasai oleh pihak perusahan Belanda dan dijadikan areal perkebunan Toean Maroeboen pindah kerumah putranya Toean Hoeta bayoe Maroeboen yang bernama Sanggah Goraha. Di Hoeta Bayoe Maroeboen inilah beliau meninggal dunia dan dikebumikan disana, pada masa itu beliau masih menganut kepercayaan setempat yaitu Parmalim.
Pada tahun 1905 sampai dengan tahun 1912 Toean Hoeta bayoe Maroeboen (Toean Sanggah Goraha) dianggkat menjadi Pemangku Kerajaan Tanah Jawa.
Sama halnya seperti ayahnya, Sanggah Goraha tidak pernah mau tunduk didalam urusan pemerintahan belanda, karena prinsip Sanggah Goraha, dia dengan raja belanda mempunyai hubungan pertemanan sehingga kedudukan mereka adalah sederajat.
Prisipnya ini yang menjadi pemicu kericuhan dengan pegawai pemerintahan belanda dan Sanggah Goraha tidak pernah takut untuk menghadapinya dan setiap saat melakukan perlawanan.
Sejalan dengan perlawanan Sanggah Goraha dengan pegawai pemerintah belanda bersamaan dengan itu terjadi pemberontakan di Pondok Buluh di Tiga Dolok oleh rakyat dari Kerajaan Tanah Jawa karena kekejaman Marsose belanda.
Oleh Raja Tanah Jawa pada masa itu adalah Toean Djintar melaporkan kepada pemerintah belanda bahwa yang menggerakkan pemberontakan di Pondok Buluh Tiga Dolok adalah Toean Sanggah Goraha dari Hoeta Bayoe Maroeboen.
Dengan perlawanan yang terus menerus tersebut Sanggah Goraha dikejar kejar oleh tentara belanda yang akhirnya Sanggah Goraha tertangkap oleh belanda dan dibuang ke Batubara.
Di Batu Bara beliau ditahan dirumah Datoek Batubara yang pada masa itu telah takluk dengan belanda.
Di Batu Bara inilah Sanggah Goraha memeluk agama Islam dimana penduduk Batu Bara pada saat itu pada umumnya pemeluk agama Isam.
Pada masa Toean Djintar hendak dikukuhkan menjadi Raja oleh belanda seluruh Pembesar-pembesar kerajaan Tanah Jawa tidak menyetujui pengangkatannya karena Toean Sanggah Goraha (Partoeanon Hoeta Bayoe Maroeboen) tidak berada ditempat untuk memberikan persetujuan atau restu sebagai raja, ini merupakan ketentuan yang harus dipatuhi di Kerajaan Tanah Jawa.
Dengan ketentuan yang telah turun temurun ini maka pemerintah belanda membebaskan dan memerintahkan agar Sanggah Goraha segera di jemput dari Batu Bara.
Maka berangkatlah Poeang Bolon Tanah Jawa dari Bandar (Permaisuri raja Horpanaloean) ibu dari Toean Djintar menjemput Sanggah Goraha ke Batu Bara.
Dengan restu Toean Sanggah Goraha maka oleh belanda diangkatlah Toean Djintar menjadi raja.
Toean Sanggah Goraha kembali ke Hoeta Bayoe Maroeboen untuk melaksanakan tugasnya sebagai Pemangku Adat Kerajaan Tanah Jawa.
Pada tahun 1930 Sanggah Goraha meninggal dunia dan Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen di nobatkan kepada putra pertamanya yaitu Toean Radja Ihoet.
Pada masa Toean Radja Ihoet menjadi Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen, oleh Raja Tanah jawa pada saat itu Toean Sangmadjadi memecah mecah kekuasaan Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen menjadi 4 wilayah;
1. Hoeta Bayoe Maroeboen di pimpin oleh Radja Ihoet,
2. Dolok Maroeboen dipimpin adik ke 2 nya Bindoe Radja,
3. Maroeboen dipimpin oleh Djintaradja adik bungsunya dan
4. Tangga Batu menjadi wilayah kepenghuluan yang pimpinannya diangkat dari rakyat biasa atas usul Toean Radja Ihoet.
Hal ini merupakan perintah Raja Tanah Jawa atas desakan pemerintah belanda untuk memperlemah kekuatan Partuanon Hoeta Bayoe Maroeboen yang merupakan generasi dari Partoeanon Maroeboen yang selalu memberontak kepada pihak belanda.